Upaya Strategis Penyelamatan dan Pemanfaatan Arsip

Oleh: Ahmad Amir Aziz

Makalah Terbaik I Lomba Karya Ilmiah bidang Kearsipan
Pemda Kab. Tulungagung tahun 2006

“Dunia tanpa arsip akan menjadi dunia tanpa ingatan, tanpa kebudayaan, tanpa hak-hak yang syah, tanpa pengertian akan akar sejarah dan ilmu serta tanpa identitas kolektif” (Liv Mykland, 1992)

A. PENDAHULUAN
Perkembangan global dewasa ini semakin menuntut pentingnya informasi bagi bagi setiap organisasi, baik organisasi pemerintah maupun swasta. Keseluruhan kegiatan organisasi pada dasarnya membutuhkan informasi. Salah satu sumber informasi penting yang dapat menunjang proses kegiatan administrasi maupun birokrasi adalah arsip (record). Sebagai rekaman informasi dari seluruh aktivitas organisasi, arsip berfungsi sebagai pusat ingatan, alat bantu pengambilan keputusan, bukti eksistensi organisasi dan untuk kepentingan pihak lain.
Mantan Menteri Sekretaris Negara, Moerdiono, dalam kata sambutan peluncuran buku ANRI dalam gerak langkah 50 tahun Indonesia Merdeka, menyatakan bahwa “Tanpa arsip, suatu bangsa akan mengalami sindrom amnesia kolektif dan akan terperangkap dalam kekinian yang penuh dengan ketidakpastian. Oleh karena itu, tidaklah terlalu keliru jika dikatakan bahwa kondisi kearsipan nasional suatu bangsa dapat dijadikan indikasi dari kekukuhan semangat kebangsaannya. Tidaklah dapat disangkal, bahwa masih banyak yang harus kita lakukan untuk menyempurnakan arsip nasional kita, baik di tingkat pusat maupun di daerah-daerah.”
Pernyataan di atas sudah cukup tegas menandaskan peran penting arsip dalam kehidupan pemerintahan dan berbangsa. Persoalan yang sering mengemuka adalah masih lemahnya penanganan arsip yang disebabkan karena berbagai alasan. Berbagai kendala seperti kurangnya tenaga arsiparis maupun terbatasnya sarana dan prasarana selalu menjadi alasan buruknya pengelolaan arsip di hampir sebagian besar instansi pemerintah maupun swasta. Kondisi semacam itu diperparah dengan image yang selalu menempatkan bidang kearsipan sebagai kawasan “marginal” diantara aktivitas-aktivitas kerja lainnya.
Sekarang ini kita tidak bisa berkutat terus pada problema-problema di atas, yang kalau dibiarkan akan makin membuat pesimis. Di tengah peluang meningkatnya SDM aparat dan masyarakat, kita harus segera melakukan lompatan-lompatan strategis untuk membangun sinergi dengan berbagai pihak dalam upaya peningkatan mutu kearsipan. Permasalah yang dikaji dalam makalah ini adalah bagaimana sesungguhnya peranan yang dapat dimainkan oleh kita, baik selaku aparat pemerintah maupun sebagai warga masyarakat dalam upaya penyelamatan dan pemanfaatan arsip?

B. PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM
Secara terminologis, arsip atau records merupakan informasi yang direkam dalam bentuk atau medium apapun, dibuat, diterima, dan dipelihara oleh suatu organisasi/lembaga/badan/perorangan dalam rangka pelaksanaan kegiatan (Walne, 1988: 128). Sedangkan dalam UU No. 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kearsipan Pasal 1 disebutkan, yang dimaksud arsip adalah: (a) naskah-naskah yang dibuat dan diterima oleh Lembaga-lembaga Negara dan Badan-badan Pemerintahan dalam bentuk corak apapun, baik dalam keadaan tunggal maupun berkelompok, dalam rangka pelaksanaan kegiatan pemerintah; (b) naskah-naskah yang dibuat dan diterima oleh Badan-badan Swasta dan/atau perorangan, dalam bentuk corak apapun, baik dalam keadaan tunggal maupun berkelompok, dalam rangka pelaksanaan kehidupan kebangsaan.
Kegunaan arsip secara umum terbagi atas dua, yaitu kegunaan bagi instansi pencipta arsip, dan kegunaan bagi kehidupan kebangsaan. Bagi instansi pencipta, kegunaan arsip antara lain meliputi: endapan informasi pelaksanaan kegiatan, pendukung kesiapan informasi bagi pembuat keputusan, sarana peningkatan efisiensi operasional instansi, memenuhi ketentuan hukum yang berlaku, dan sebagai bukti eksistensi instansi. Sedangkan bagi kehidupan kebangsaan, kegunaan arsip antara lain sebagai: bukti pertanggungjawaban, rekaman budaya nasional sebagai “memori kolektif” dan prestasi intelektual bangsa, dan sebagai bukti sejarah.
Menurut UU No.7 tahun 1971, fungsi arsip dibedakan atas dua: arsip dinamis dan arsip statis. Arsip dinamis adalah arsip yang masih secara langsung digunakan dalam kegiatan-kegiatan atau aktivitas organisasi, baik sejak perencanaan, pelaksanaan dan juga evaluasi. Arsip statis adalah arsip yang tidak dipergunakan lagi di dalam fungsi-fungsi manajemen, tetapi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan dan penelitian. Arsip statis merupakan arsip yang memiliki nilai guna berkelanjutan (continuing value).
Arsip dinamis berdasarkan kepentingan penggunaannya dapat dibedakan menjadi dua yaitu arsip dinamis aktif dan dinamis inaktif. Arsip dinamis aktif berarti arsip yang secara langsung dan terus-menerus diperlukan dan dipergunakan di dalam penyelenggaraan administrasi. Sedangkan arsip dinamis inaktif merupakan arsip-arsip yang frekuensi penggunaannya untuk penyelenggaraan administrasi sudah menurun.
Untuk peningkatan efisiensi dan efektifitas operasional instansi, arsip harus disusutkan. Sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1979, pasal 2, penyusutan berarti memindahkan arsip aktif dari unit?unit pengolah ke Unit Kearsipan di lingkungan instansi masing?masing, memusnahkan arsip sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan menyerahkan arsip statis oleh Unit Kearsipan ke Arsip Nasional RI. Penyusutan arsip, dalam perspektif ilmu pengetahuan adalah fungsi “pelestarian arsip” yang bernilai guna sekunder bagi kehidupan kebangsaan. Dengan adanya pedoman penyusutan arsip sejak awal telah dapat dipantau dan dilakukan langkah “penyelamatan” bukti pertanggung jawaban nasional dan bukti prestasi intelektual berupa nilai budaya bangsa yang terekam dalam bentuk arsip.
Sampai di sini masalah pelestarian dan penyelamatan arsip menjadi sangat penting, terlebih setelah dalam tahun-tahun terakhir ini banyak sekali musibah yang menimpa negeri kita yang dapat berakibat pada rusak/hilangnya sejumlah arsip. Untuk itu lahirlah Peraturan Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia Nomor : 06 Tahun 2005 Tentang Pedoman Pelindungan, Pengamanan dan Penyelamatan Dokumen Arsip Vital Negara terhadap Musibah/Bencana. Sebagai informasi terekam, dokumen/arsip vital negara merupakan bukti penyelenggaraan kegiatan organisasi yang berfungsi sebagai bukti akuntabilitas kinerja, alat bukti hukum dan memori organisasi. Oleh karena sifatnya yang sangat penting, arsip vital harus memperoleh perlindungan khusus terutama dari kemungkinan musnah, hilang atau rusak yang diakibatkan oleh bencana. Dengan adanya pedoman ini maka akan memberikan koridor hukum dalam kegiatan penyelamatan arsip.
Selain itu, secara sepesisifik dalam lingkup pemerintahan Kabupaten Tulungagung juga telah keluar Peraturan Bupati Tulungagung Nomor 13 tahun 2005 tentang Penyelamatan Arsip di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Tulugagung. Dalam Pasal 4 disebutkan bahwa sesorang yang tinggal di Tulungagung yang karena peran dan aktifitasnya di tingkat lokal/daerah/nasional/internasional memiliki atau menyimpan arsip statis dapat menyerahkan arsip-arsip yang dikuasainya kepada Kantor Arsip. Ini artinya bahwa masyarakat Tulungagung dapat berpartisipasi aktif dalam upaya penyelamatan arsip baik yang berhubungan dengan pemerintahan maupun kebangsaan. Dengan adanya peraturan ini pula Kantor Arsip dapat bertindak sesuai kewenangannya untuk melakukan penelusuran, penyelamatan arsip, dan mendorong percepatan penyelamatan arsip-arsip yang bernilai guna tinggi.

C. SINERGI APARAT DAN MASYARAKAT
Di dunia yang semakin kompleks ini, kegiatan apapun tidak lagi mengandalkan ingatan pelaksana atau pelakunya. Apa yang harus dilakukan adalah mengelola informasi melalui pengelolaan arsipnya. Benar kata pepatah bahwa memory can fail, but what is recorded will remain (ANRI, 1980: 12). Dalam konteks kelembagaan perlu di garis bawahi bahwa organisasi modern adalah organisasi yang bertumpu pada informasi (a modern organization is an information based organization), karena lewat informasi inilah pola huhungan antara “state” (negara) dan “civil society” (masyarakat sipil) dapat berlangsung secara sinergis.
Dalam upaya penyelamatan, pelestarian, dan pemanfaatan arsip, pihak aparat pemerintah dan masyarakat tidak bisa berjalan sendiri-sendiri melainkan harus “bergandeng tangan”. Di satu sisi pemerintah berkewajiban memberikan penyadaran pada masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam upaya penyelamatan dan pelestarian arsip, dan di sisi lain pemerintah dituntut untuk bisa memberikan pelayanan publik dalam pemanfaatan aarsip untuk kepentingan masyarakat luas, lebih-lebih bila dimaksudkan sebagai upaya memperkukuh integritas nasional dan memperkuat jalinan solidaritas kebangsaan. Masyarakat juga kian cerdas, sehingga aparat juga harus bersikap terbuka.
Jika antara aparat dan masyarakat tidak bisa saling terbuka, maka yang muncul adalah sikap “acuh”, dan bahkan “curiga”. Jika hal ini yang terjadi maka akan merupakan malapetakan bagi dunia kearsipan kita. Jangan sampai terjadi misalnya, meminjam istilah Tidor Arif T. Djati, terjadi “anarki penyelenggaraan kearsipan” di organisasi pemerintah (Tidor, 1999: 15). Semuanya itu akhirnya akan bermuara pada satu pertanyaan mendasar apakah kita, sebagai satu bangsa, sudah terkena “sindrom amnesia kolektif” ketika, misalnya, anak bangsa menanyakan keberadaan surat perintah atau surat-surat penting lainnya mengalami kebingungan.
Akibat lebih jauhnya, kedua belah pihak akan berjalan sendiri-sendiri. Pemerintah hanya menangani arsip-arsip aktif yang ada di instansi pemerintahan, sementara masyarakat menyelamatkan sendiri dokumen-dokumen penting kebangsaan seperti naskah-naskah kuno, foto-foto kesejarahan, bahkan arsip penting zaman kolonial dahulu, yang mestinya harus diselamatkan bersama dan dipublikasikan secara luas untuk kepentingan nation building. Bukanlah selama ini masih banyak warisan dokumen kerajan-kerajan tempo dulu yang tetap dikuasai anak-cucu secara turun temurun?
Ironisnya lagi, arsip-arsip penting yang bersifat kenegaraan banyak beredar di tangan-tangan gelap dan bahkan ada yang “dibisniskan”. Padahal telah jelas dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kearsipan bahwa segenap arsip negara harus diserahkan kepada negara, yang apabila dimiliki secara individu, individu bersangkutan dapat dikenai sanksi hukum. Menurut hasil investigasi sebuah koran terkemuka, bagi sekelompok kalangan, arsip justru lebih banyak dijadikan komoditas yang diperjualbelikan. “Saya pernah ditawari pidato-pidato Bung Karno tahun 1965-1967, padahal itu termasuk arsip yang harus diserahkan kepada negara,” ungkap Asvi seorang warga masyarakat sebagaimana dituturkan kepada Harian Kompas beberapa tahun lalu.
Nah, bila saja hal itu dapat diserahkan oleh masyarakat yang menguasainya kepada Kantor/Badan Arsip Daerah/Nasional akan menjadi dokumen bersejarah penting. Semua itu bisa hanya terwujud, jika antara pemerintah dan masyarakat ada good will (kemauan baik) dan mutual understanding (kerjasama saling pengertian).
Meskipun demikian, tidaklah semua arsip dapat “dibuka untuk umum”, karena dalam beberapa hal ada sejumlah rahasia negara yang dilindungi Undang-undang. Karena itu penting diketahui pembedaan kategori arsip yang menjadi hak instansi pemerintah dan arsip yang bisa diakses seluruh masyarakat.
Sesuai dengan Surat Edaran Kepala ANRI Nomor 02/SE/1983, arsip dapat dibedakan antara nilai guna primer dan nilai guna sekunder. Nilai guna primer pada prinsipnya adalah nilai yang melekat pada kepentingan operasional instansi yang bersangkutan. Dalam hal ini dapat dibedakan dalam empat nilai guna yaitu: (1) Administrasi: Merupakan nilai guna yang berhubungan dengan tanggungjawab kedinasan; (2) Hukum: Merupakan nilai guna yang berhubungan dengan tanggung jawab kewenangan; (3) Fiskal: Merupakan nilai guna yang berbubungan dengan tanggungjawab keuangan; (4) IlmiahlTeknologi: Merupakan nilai guna yang berhubungan dengan tanggung jawab intelektual/prestasi budaya.
Disamping nilai guna primer, sebagian kecil arsip memiliki nilai guna sekunder yang berkaitan dengan bukti pertanggungjawaban nasional dan atau pelestarian budaya bangsa. Termasuk dalam nilai guna sekunder, adalah nilai guna information dan nilai guna evidential. Arsip bernilai guna informasional pada prinsipnya adalah semua hal yang mengenai peristiwa/fenomena orang/organisasi/tempat yang menjadi bagian langsung dari arus peristiwa nasional dan/tokoh nasional. Arsip bernilai guna evidential, merupakan arsip bukti keberadaan sejarah lembaga, pencipta (creating agency) arsip yang bersangkutan atau keberadaan sesuatu fenomena sejarah. Termasuk pula arsip jenis ini produk hukum yang bersifat mengatur dari instansi yang bersangkutan dan bukti prestasi budaya/intelektual yang bersifat original.
Semua arsip yang bernilai guna sekunder, tersebut dalam prinsipnya adalah arsip bernilai guna permanen, artinya harus dilestarikan keberadaannya. Untuk arsip, bernilai guna permanen, dapat disimpan secara terus menerus di lembaga pencipta (creating agency) dan apabila sudah tidak diperlukan lagi wajib diserahkan kepada Arsip Nasional Republik Indonesia sebagai arsip statis.

D. OPTIMALISAI PERANAN MASYARAKAT
Pada bulan Maret tahun 2004 lalu di Hotel Accasia Jakarta diadakan dalam acara Sarasehan yang membahas tentang arti dan fungsi arsip dalam kehidupan global dunia modern sekarang ini. Dalam acara tersebut arsip disoroti dari berbagai sudut pandang oleh para pengguna yang berkepentingan dengan arsip. Di antara yang tampil adalah pakar komunikasi, perwakilan komunitas bisnis, aparat pemerintah, dan lembaga pengelola arsip. Dua hal menjadi prioritas pembahasan, yaitu mengenai arti penting arsip sebagai sumber informasi, dan tentang pemeliharaan dan pelestarian arsip agar bisa diwariskan sebagai salah satu khazanah penting bagi generasi berikutnya. Saresehan tersebut diakhiri dengan dibentuknya Masyarakat Peduli Arsip (MAPA).
Akan tetapi dengan dibentuknya MAPA bukan berarti langsung dapat “mendongkrak” kesadaran masayarakat secara nasional. Tampaknya, upaya pelestarian dan penyelamatan arsip cukup kompleks, dalam arti tidak sekedar menyangkut kesadaran masyarakat, tetapi juga political will pemerintah. Dilihat dari perspektif historis tradisi usaha penyelamatan bukanlah hal baru, karena Belanda sebenarnya sudah mewariskan tradisi itu.
Jadi di negeri ini, tradisi pelestarian dan perawatan arsip telah berlangsung cukup lama. Langkah ini dirintis oleh pemerintah kolonial Belanda yang menerima warisan arsip dari Kompeni Hindia Timur (VOC) dalam bentuk laporan dan surat-surat aktivitas badan dagang tersebut pada awal abad XIX. Sejak masa itu pemerintah kolonial Belanda telah memahami arti penting dari surat-surat ini dan pada tahun 1816 Komisaris Jenderal mengeluarkan keputusan tentang perlunya setiap kepala daerah untuk menyimpan dan merawat arsip-arsip yang dihasilkan dari administrasinya. Ketika kegiatan penyimpanan dan perawatan arsip ini menjadi semakin kompleks, pemerintah jajahan Belanda memandang perlu untuk mengatur kembali posisi dan status badan arsip ini secara struktural. Pada tahun 1890 pemerintah Belanda memutuskan untuk menempatkan badan arsip ini di bawah lembaga Sekretariat Negara (Algemeen Secretarie) yang dibentuk sebagai lembaga pelaksana perintah dan pembantu utama Gubernur Jenderal dalam mengatur administrasi di Hindia Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, semua berkas arsip yang ada dari Algemeen Secretarie dilimpahkan kepada Sekretariat Negara. Pada tahun 1950 pemerintah RI membentuk lembaga khusus untuk menangani arsip-arsip warisan masa lalu ini dan dokumen-dokumen penting dari semua instansi negara yang ada saat itu. Lembaga ini disebut Arsip Nasional RI yang masih berfungsi sampai sekarang sebagai penyimpan khazanah arsip nasional negara. Dari perjalanan sejarah ini, sebagai sebuah bangsa seharusnya kita sudah “terlatih” dalam soal penyelamatan arsip karena sudah berpengalaman selama satu abad lebih.
Kini, kegiatan pengabadian maupun pendokumentasian tidak hanya dilakukan untuk tingkat individu atau keluarga, tetapi juga sudah ada lembaga-lembaga yang bahkan melaksanakannya sampai tingkat institusi tertinggi seperti negara. Koleksi-koleksi yang dimiliki oleh perpustakaan, museum, maupun lembaga pengarsip telah menjadi sumber pendokumentasian sejarah dan manusia. Banyak penyelidikan dan penelusuran yang bergantung pada keberadaan lembaga-lembaga ini. Salah seorang ahli sejarah Indonesia, Profesor Sartono Kartodirdjo, misalnya, mengungkapkan, kunci untuk memasuki wilayah sejarah ialah sumber-sumber seperti legenda, folklor, prasasti, monumen hingga dokumen-dokumen, surat kabar, dan surat-surat.
Sekalipun budaya mengarsip dan kepedulian terhadap arsip bagi sebagian besar anggota masyarakat tergolong minim, diketahui pula tokoh-tokoh negeri ini yang berkiprah di masa lampau telah terbiasa menyimpan dan memanfaatkan arsip. Salah seorang tokoh yang bisa disebutkan adalah Bung Hatta. Hingga kini tidak kurang dari 10.000 buku yang ditinggalkannya, ditambah dengan arsip korespondensi dengan beberapa tokoh, catatan-catatan ketika masih kuliah, catatan-catatan selama mengajar, hingga catatan-catatan harian. Semua dokumen peninggalan tersebut disimpan di sebuah perpustakaan pribadi yang terletak di Jl. Diponegoro 57, Jakarta.
Tidak hanya Hatta, Pramoedya Ananta Toer, sastrawan yang karya-karyanya telah begitu mendunia ini, termasuk orang yang sangat menghargai arsip. Tidak ada dokumen miliknya yang luput disimpan. Tidak hanya catatan harian, buku-buku, surat-surat penting, dan naskah-naskah tulisannya saja yang diarsip. Benda seperti surat undangan dari seseorang pun ia simpan dan atur sedemikian rupa. Sedemikian berharga dokumen-dokumen pribadi bagi seorang Pramoedya Ananta Toer, ia sangat menyesal dan marah jika mengingat pembakaran semua dokumen miliknya oleh pihak militer pada tahun 1965.
Berdasarkan uraian sub ini ada beberapa langkah strategis yang bisa ditempuh dalam upaya memaksimalkan peranan masyarakat;
1. Pentingnya “keteladanan” dari para tokoh masyarakat (tokoh masyarakat dan tokoh agama) untuk senantiasa menyimpan arsip-arsip penting baik yang menjadi miliknya maupun yang berada di bawah kekuasaannya. Dengan adanya keteladanan ini anggota masyarakat kelak akan dapat memanfaatkan dan dapat terdorong untuk mengambil langkah serupa.
2. Lewat tokoh masyarakat dan tokoh agama juga bisa diminta perannya untuk memberikan pengertian secara persuasif perihal urgensi diserahkannya arsip-arsip yang bernilai tinggi kepada Kantor Arsip setempat. Sosialisasi pihak aparat an sich seringkali tidak efektif, namun lewat seruan pemimpin-pemimpin non-formal masyarakat biasanya lebih mudah tergerak.
3. Masyarakat Perguruan Tinggi, yang dikenal dengan tradisi ilmiahnya, dapat mengambil peran aktif untuk terus mengkaji arsip dan dokumen bersejarah lain untuk kemudian hasilnya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Sangat disayangkan apabila arsip-arsip yang sudah tersimpan selama ini, seperti dalam bentuk manuskrip kuno, foto-foto klasik dan dokumentasi, dibiarkan begitu saja. Bila masyarakat kampus memiliki kepedulian, maka arsip-arsip penting tersebut dalam dijadikan bahan kajian menarik yang bermanfaat.
4. Kalangan Pemuda tidak boleh ketinggalan, mereka dapat berperan aktif memanfaatkan arsip, terutama yang biasanya mereka senangi adalah yang berupa Arsip pandang-dengar (audio-visual records) merupakan arsip yang dapat dilihat dan didengar. Arsip pandang dengar dapat dirinci dalam 3 kategori: arsip gambar statik (static image), contohnya foto; arsip citra bergerak (moving image), film, video, dsb; arsip rekaman suara (sound recording), semisal kaset.

E. PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa arsip merupakan suatu sumber kekayaan yang sangat berharga dalam komunikasi masyarakat modern. Arsip tidak lagi bisa dipandang sebagai benda mati yang ditimbun dengan nilai yang tidak jelas, melainkan sebagai warisan masa lalu yang layak dan wajib dilestarikan. Usaha pelestarian dan penyelamatan harus merupakan langkah sinergis antara kedua belah pihak: aparat pemerintah dan masyarakat. Pemerintah bertindak selaku agen yang memelopori, mendorong, dan menfasilitasi upaya-uapaya penyelamatan dan sekaligus pemanfaatannya. Sedangkan masyarakat dapat membantu dan mendukung langkah pemerintah sesuai dengan kapasitas masing-masing, baik selaku tokoh masyarakat, tokoh agama, masyarakat kampus, maupun kalangan pemuda. Semoga, dengan langkah sinergis berbagai pihak ini, penyelamatan dan pemanfaatkan arsip khusunya di Kabupaten Tulungagung tercinta ini dapat berjalan maksimal.

DAFTAR PUSTAKA
Peter Walne (ed), Dictionary of Archival Terminology (Munchen: KG. Saur, 1988).
PERATURAN BUPATI TULUNGAGUNG No. 13 Tahun 2005 Tentang Penyelamatan Arsip di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Tulungagung
PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA No. 06 Thn 2005 Tentang Pedoman Pelindungan, Pengamanan dan Penyelamatan Dokumen Arsip Vital Negara terhadap Musibah/Bencana.
Sulistyo-Basuki, Manajemen Arsip Dinamis, Pengantar Memahami dan mengelola Informasi dan Dokumen (Jakarta: Gramedia, 2003).
Tidor Arif T. Djati, “Kesadaran Kearsipan: Harapan di era Reformasi”, dalam Bukti, No. 2, Mei 1999.
Tim Penyusun, Arsip dan Sejarah (Jakarta: ANRI, 1980).
UNDANG-UNDANG No. 7 Tahun 1971 Tentang Ketentuan Pokok Kearsipan
Waluyo, “Memaknai Kembali Arsip Sebagai Sumber Informasi”, makalah dalam http://kearsipan.fib.ugm.ac.id/maknaarsip.htm

3 Responses

  1. Mas Amir, punya referensi lengkap ttg pengantar kearsipan karangannya Ibu Drs. Sumartini yg mantan Kepala Arsip Nasional gk? Kl ada mau dong mas.

  2. Waduh, maaf Mas….. sy gak punya. Saya sih bukan bergelut di dunia kearsipan, cuma sedikit punya minat di bidang itu saja. Semoga makin banyak orang yang peduli dan menuliskan gagasannya agar penyelamatan arsip, naskah kuno, karya2 klasik dapat makin berkembang di tanah air. Salam

  3. Amin mas…

Leave a comment